- Back to Home »
- Artikel , kontemplasi »
- Eksistensi Manusia
Posted by :
Ilham
13 April 2009
Sejarah panjang penelusuran pemikiran manusia tentang eksistensi keberadaannya telah memberikan penjelasan tentang apa tujuan kehidupan manusia. Hampir setiap pemikiran, setiap kultur dan budaya memiliki kearifan tersendiri tentang bagaimana memahami hakekat keberadaan diri. Adapun arti dari hakekat eksistensi manusia dapat dipahami -sebagaimana dijelaskan oleh Leslie Stevenson dan David L. Haberman- sebagai berikut:
Menurut konfusius, manusia secara fundamental sama. Kita menjadi berbeda-beda disebabkan cara kita menghadapi hidup. Karena itu Konfusius percaya bahwa lingkungan dan jalan hidup sangat mempengaruhi karakter manusia. Meskipun demikian, manusia tetap memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi lebih baik, artinya manusia memiliki kapasitas untuk menumbuhkan kebajikan dan membawa dirinya dalam harmoni dengan Titah Surga. Konfusius menjelaskan bahwa manusia yang telah mampu meningkatkan kapasitas dirinya dapat menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang memupuk moral dalam dirinya sendiri dan membawa kedamaian dan keamanan kepada masyarakat. Prinsip ini sesungguhnya, memiliki kesamaan dengan hokum emas: "Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri". Dan orientasi akhir dari hakekat kemanusiaan dalam ajaran konfusius adalah terbentuknya manusia-manusia yang arif dan bijaksana yang mampu menebar kebajikan dan kearifan bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain.
Sementara itu dalam pemahaman Brihad Aranyaka Upanishad, manusia sesungguhnya tidak berdiri sendiri tetapi ia menyatu dengan semua yang ada. Keluarga kita bukan hanya sesama manusia melainkan semua yang ada. Hal ini merupakan kelanjutan dari ajaran Upanishad yang menyatakan bahwa : "Diri semua ini adalah dirimu juga". Dan diri yang murni (atman) adalah raja dari semua yang ada. Dengan demikian diri adalah semuanya dan semuanya adalah diri itu sendiri. Atas dasar penyatuan diri semesta ini, pemahaman akan ajaran ini mempunyai konsekuensi bahwa jika kita tidak menaruh perhatian terhadap hakikat sejati realitas sama artinya dengan ketidakpedulian terhadap hakikat sejati kita sendiri. Dalam pengertian terbalik, jika kita tidak tahu siapa diri kita sebenarnya merupakan konsekuensi dari kita tidak mau tahu akan hakikat realitas. Pada prinsipnya hakekat kemanusiaan menurut Brihad Aranyaka Upanishad adalah penyatuan hakekat diri kemanusiaan dengan diri semesta, entah itu alam, dunia hewan maupun dunia tumbuh-tumbuhan, yang penting adalah manunggaling manungso kalian semesta. Penyatuan ini pada hakekatnya akan mengantarkan seseorang mencapai pengetahuan tertinggi akan hakekat kemanusiaan itu sendiri.
Menurut Karl Marx “hakekat riil manusia adalah keseluruhan hubungan-hubungan social”. Pernyataan ini muncul dari realitas social yang dilihat Marx berjalan timpang, di mana terdapat jurang pemisah yang sangat dalam antara kaum buruh dan pemodal. Ketimpangan hubungan ini kemudian melahirkan ketidakseimbangan hubungan social antara individu dengan individu lainnya. Hubungan yang ada bukan untuk dimaksudkan untuk saling menguntungkan bahkan sebaliknya kaum pemodal mengeksploitasi habis-habisan sumber daya manusia kaum buruh. Kenyataan ini pun masih dapat kita lihat hingga hari ini. Berbeda dengan Marx, Sartre menyatakan bahwa “manusia dihukum untuk bebas”. Ia bersikukuh bahwa setiap pribadi benar-benar bebas untuk memutuskan apa yang diinginkan dan dilakukannya. Menurut Sartre, setiap aspek kehidupan jiwa kita merupakan sesuatu yang kita pilij dan kita pertanggungjawabkan seutuhnya. Menurutnya, jika seseorang sedih, kesedihan itu bukan disebabkan oleh seseuatu yang berada di luar kehendaknya, tetapi kesedihan itu merupakan pilihan diri sendiri untuk merasakan kesedihan. Dua pandangan di atas, merupakan pandangan yang saling berhadap-hadapan. Marx memberikan landasan bagi kesetaraan social sementara Sartre memberikan kebebasan yang luas bagi masing-masing pribadi.
Adapun hakekat kemanusiaan dalam ajaran agama-agama samawi cenderung memahami hakekat kemanusiaan dalam konteks relasi dengan Tuhan (Zat yang Transenden). Baik itu ajaran Yahudi, Nasrani, dan Islam semuanya bermuara pada konsep teologi langit (samawi) yang merupakan wahyu Tuhan.
……hakekat manusia berarti –dalam konteks perseorangan- makna dan tujuan hidup kita, apa yang sebaiknya kita lakukan dan kita usahakan, apa yang boleh diharapkan untuk dicapai atau kita berharap menjadi apa. Sementara dalam konteks masyarakat atau komunitas manusia, hakekat kemanusiaan berarti visi komunitas manusia yang bagaimana yang kita harapkan terwujud dan jenis perubahan social macam apa yang harus kita lakukan.
Menurut konfusius, manusia secara fundamental sama. Kita menjadi berbeda-beda disebabkan cara kita menghadapi hidup. Karena itu Konfusius percaya bahwa lingkungan dan jalan hidup sangat mempengaruhi karakter manusia. Meskipun demikian, manusia tetap memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi lebih baik, artinya manusia memiliki kapasitas untuk menumbuhkan kebajikan dan membawa dirinya dalam harmoni dengan Titah Surga. Konfusius menjelaskan bahwa manusia yang telah mampu meningkatkan kapasitas dirinya dapat menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang memupuk moral dalam dirinya sendiri dan membawa kedamaian dan keamanan kepada masyarakat. Prinsip ini sesungguhnya, memiliki kesamaan dengan hokum emas: "Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri". Dan orientasi akhir dari hakekat kemanusiaan dalam ajaran konfusius adalah terbentuknya manusia-manusia yang arif dan bijaksana yang mampu menebar kebajikan dan kearifan bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain.
Sementara itu dalam pemahaman Brihad Aranyaka Upanishad, manusia sesungguhnya tidak berdiri sendiri tetapi ia menyatu dengan semua yang ada. Keluarga kita bukan hanya sesama manusia melainkan semua yang ada. Hal ini merupakan kelanjutan dari ajaran Upanishad yang menyatakan bahwa : "Diri semua ini adalah dirimu juga". Dan diri yang murni (atman) adalah raja dari semua yang ada. Dengan demikian diri adalah semuanya dan semuanya adalah diri itu sendiri. Atas dasar penyatuan diri semesta ini, pemahaman akan ajaran ini mempunyai konsekuensi bahwa jika kita tidak menaruh perhatian terhadap hakikat sejati realitas sama artinya dengan ketidakpedulian terhadap hakikat sejati kita sendiri. Dalam pengertian terbalik, jika kita tidak tahu siapa diri kita sebenarnya merupakan konsekuensi dari kita tidak mau tahu akan hakikat realitas. Pada prinsipnya hakekat kemanusiaan menurut Brihad Aranyaka Upanishad adalah penyatuan hakekat diri kemanusiaan dengan diri semesta, entah itu alam, dunia hewan maupun dunia tumbuh-tumbuhan, yang penting adalah manunggaling manungso kalian semesta. Penyatuan ini pada hakekatnya akan mengantarkan seseorang mencapai pengetahuan tertinggi akan hakekat kemanusiaan itu sendiri.
Menurut Karl Marx “hakekat riil manusia adalah keseluruhan hubungan-hubungan social”. Pernyataan ini muncul dari realitas social yang dilihat Marx berjalan timpang, di mana terdapat jurang pemisah yang sangat dalam antara kaum buruh dan pemodal. Ketimpangan hubungan ini kemudian melahirkan ketidakseimbangan hubungan social antara individu dengan individu lainnya. Hubungan yang ada bukan untuk dimaksudkan untuk saling menguntungkan bahkan sebaliknya kaum pemodal mengeksploitasi habis-habisan sumber daya manusia kaum buruh. Kenyataan ini pun masih dapat kita lihat hingga hari ini. Berbeda dengan Marx, Sartre menyatakan bahwa “manusia dihukum untuk bebas”. Ia bersikukuh bahwa setiap pribadi benar-benar bebas untuk memutuskan apa yang diinginkan dan dilakukannya. Menurut Sartre, setiap aspek kehidupan jiwa kita merupakan sesuatu yang kita pilij dan kita pertanggungjawabkan seutuhnya. Menurutnya, jika seseorang sedih, kesedihan itu bukan disebabkan oleh seseuatu yang berada di luar kehendaknya, tetapi kesedihan itu merupakan pilihan diri sendiri untuk merasakan kesedihan. Dua pandangan di atas, merupakan pandangan yang saling berhadap-hadapan. Marx memberikan landasan bagi kesetaraan social sementara Sartre memberikan kebebasan yang luas bagi masing-masing pribadi.
Adapun hakekat kemanusiaan dalam ajaran agama-agama samawi cenderung memahami hakekat kemanusiaan dalam konteks relasi dengan Tuhan (Zat yang Transenden). Baik itu ajaran Yahudi, Nasrani, dan Islam semuanya bermuara pada konsep teologi langit (samawi) yang merupakan wahyu Tuhan.