Posted by : Ilham 16 Maret 2009

Judul: Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial; Penulis: M. Zainuddin, MA; Penerbit: UIN Press; Cet. I: Oktober 2007; Tebal: 210 lembar


Hingga saat ini, kita belum sadar pada dasarnya kita masih berjalan pincang dengan ketakwaan dan kesalehan kita. Di satu sisi kita memiliki kesalehan personal yang tiggi pada Tuhan sementara di sisi lain hak-hak sosial dalam diri kita masih sering kita acuhkan. Atau sebaliknya, kesalehan sosial berada pada prioritas tertinggi dalam kewajiban kita, sementara penyembahan terhadap Yang Maha Agung tidak kita laksanakan. Padahal agama, pada dasarnya, diwahyukan untuk memberikan petunjuk dan sebagai way of life bagi manusia. Petunjuk tersebut tidak berlaku hanya untuk diri sendiri dalam konteks kesalehan personal, akan tetapi sebaliknya berlaku secara makro pada tataran kesalehan sosial dan personal. Jika kita tilik secara bijak antara kesalehan personal dengan kesalehan sosial, keduanya berjalan linier dan saling menyatu membentuk kehidupan yang seimbang bagi hubungan manusia baik secara vertical maupun horizontal.

Dicontohkan dalam buku ini sebuah fakta sosial yang kerap terjadi di lingkungan kita. Di antara kita banyak sekali yang telah menunaikan ibadah haji lebih dari satu kali karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih, akan tetapi ironinya kita masih belum memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Padahal, menurut penulis buku ini, ibadah haji dan ibadah mahdhah lainnya pada dasarnya menjunjung tinggi kesadaran dan empati sosial. Pemahaman ini hampir sama dengan pesan moral sosial agama yang ditulis oleh Husein Muhammad dalam bukunya Spiritualitas Kemanusiaan (2006). Menurut Husein ibadah sosial memiliki dimensi sosial yang lebih luas dibandingkan dengan dimensi ibadah personal. Dalam teks-teks fiqh klasik, kita dapat melihat bahwa bidang ibadah personal merupakan satu bagian saja dari sekian banyak bidang keagamaan lain seperti muamalat (hubungan sosial), munakahat (hokum keluarga), jinayat (pidana), Qadha (peradilan), dan imamah atau siyasah (politik). Menurut Husein, ini merupakan bukti bahwa content dari prinsip-prinsip beragama pada dasarnya mengarahkan padandangan pada kesalehan sosial dalam arti yang luas. Contoh sederhana yang dapat kita perhatikan adalah, ajaran Islam sangat menganjurkan untuk melaksanakan sholat berjama’ah dibandingkan dengan sholat sendirian, 1 berbanding 27. Mengapa hal itu bisa terjadi? Dengan sholat berjama’ah akan terbangun hubungan sosial yang harmonis, terciptanya solidaritas yang kuat, empati satu sama lain dan aspek-aspek sosial lainnya.
Menganalisis fakta sosial yang berat sebelah demikian, Mas’udi menyebutkan bahwa agama dapat dilihat dalam tiga kategori yaitu, agama subyektif, agama obyektif dan agama simbolik. Agama subyektif lebih bersifat personal dengan kecenderungan pada kesadaran dan kepasrahan pada Yang Mutlak. Dalam konteks ini, agama personal tidak dapat dihakimi oleh orang lain, karena setiap orang memiliki keyakinan dan pemahaman yang sangat individual, yang memiliki perbedaan dengan orang lain. Sebaliknya agama obyektif lebih bermakna akhlakul karimah, yakni kontekstualisasi sikap dan perilaku kita pada tataran sosial dengan menyandarkan perilaku tersebut pada ajaran agama, salah satu contohnya adalah kejujuran. Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan pemeluknya untuk memiliki sikap tidak jujur. Ini merupakan bukti kontekstualisasi ajaran agama pada aspek perilaku manusia. Agama subyektif dan obyektif sama halnya dengan konsep iman dan amal. Iman bersifat personal tetapi amal merupakan aplikasi iman dalam kehidupan sosial. Iman menjadi landasan perilaku baik dalam konteks hubungan vertikal (hablum minallah) maupun hubungan horisontal (hablum minannas wa hablum minal ’alam). Sementara yang dimaksud dengan agama simbolik adalah agama nisbi yang hadir karena tuntutan dari agama subyektif dan obyektif. Zainuddin mengibaratkan jika agama subyektif dan obyektif adalah ruh dan jiwa, maka agama simbolik adalah raganya (h.61).
Kelihatannya terlalu idealis untuk menyeimbangkan antara kesalehan personal dan sosial. Akan tetapi kelihatannya tidak bijak jika kita tidak mencobanya dan menerapkannya dalam kehidupan manusia. Agama akan menjadi kering dengan hanya menitikberatkan pada pemahaman yang bersifat personal tanpa menghadirkan nilai-nilai sosial di dalamnya. Karena pada dasarnya agama memiliki peranan yang sangat vital dalam membina umat manusia. Agama tidak sekedar memiliki fungsi sebagai aturan kehidupan bagi manusia, sebaliknya agama memegan peranan yang bersifat universal. Menurut Hendropuspito, agama memiliki fungsi edukasi, penyelamatan, kontrol sosial, persaudaraan, dan transformasi (h.56).
Sebagai fungsi edukasi, agama memiliki peranan untuk membimbing dan mengajarkan manusia melalui lembaga-lembaga pendidikan agama seperti madrasah, biara, dan lain sebagainya untuk memahami ajaran agama tersebut dan memotivasi manusia untuk membumikan prinsip-prinsip agama dalam setiap sistem perilaku kehidupan. Sementara dalam fungsi penyelamatan, agama menjadi sumber jawaban terhadap problema manusia, karena pada hakekatnya manusia selalu berusaha mengejar keselamatan baik di dunia maupun akhirat. Hal ini senada dengan yang disebutkan oleh Zakiah Daradjat dalam bukunya Agama dan Kesehatan Mental bahwa kecenderungan orang untuk tidak mengindahkan ajaran agama menjadi sumber timbulnya simptom-simptom psikologis. Sebagai akhirnya agama hendak mengarahkan kehidupan manusia pada kebahagiaan yang selaras dengan prinsip universal yang terkandung dalam ajaran agama.
Sementara itu kecenderungan manusia untuk mengejar kebahagiaan akan hilang maknanya jika dibiarkan begitu saja tanpa ada kontrol di belakangnya. Sebagimana Freud menyebutkan, manusia cenderung mengejar kesenangan tanpa mempedulikan realitas yang ada. Akibatnya kebebasan yang terlampau jauh yang dipraktekkan oleh seseorang akan menimbulkan masalah terhadap kebebasan orang lain. Sehingga kehadiran agama sebagai kontrol sosial menjadi sebuah keniscayaan untuk ikut bertanggungjawab pada keseimbangan kehidupan manusia.
Agama membawa norma-norma universal yang mampu memilah kaidah-kaidah susila yang baik dan menolak kaidah yang tabu dan terlarang. Agama juga memiliki kekuatan untuk memberi sanksi yang harus dijatuhkan kepada orang orang yang melanggar prinsip universal tersebut dan memberikan pengawasan bagi yang lainnya agar tetap ada pada rel yang seharusnya.
Kita menyadari bahwa manusia cenderung lebih suka berkumpul dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya baik identitas, paradigma maupun keyakinan. Di sinilah agama memegang peranan sebagai ikatan persaudaraan. Perbedaanya tali persaudaraan yang tercipta melalu keyakinan agama tidak terpengaruh oleh batas wilayah sebuah negara, suku-bangsa, maupun status sosial. Persaudaraan dalam konteks keyakinan (agama) memiliki kekuatan universal untuk menyamakan dan menyatukan perbedaan yang ada, dan prinsip ini yang dibawa oleh hampir semua agama di dunia.
Tugas paling besar yang diemban oleh agama adalah transformasi. Yang dimaksud di sini adalah menggerakkan dinamika ajaran agama menjadi sebuah kerja kreatif yang selalu kontekstual dengan realitas di mana agama tersebut eksis sehingga agama tidak kehilangan maknanya dalam dimensi yang berbeda. Di samping itu, agama juga mutlak ditransformasikan dalam sendi-sendi kehidupan manusia agar agama tidak selamanya melangit dan tidak terjangkau oleh pemahaman manusia. Agama diwahyukan untuk manusia maka pemahamannya pun sudah selayaknya manusiawi dan prakteknya pun harus ditransformasikan secara manusiawi pula.
Tulisan Zainuddin ini menawarkan alternatif pemahaman akan keberadaan agama sebagai way of life manusia, meski buku ini bukan pertama yang membicarakan hal serupa. Tetapi sudah selayaknya buku ini dibaca dan dikaji baik dalam konteks studi agama khusunya Islam, maupun sebagai basic dalam memahami realitas praktek agama yang cenderung pincang. Tidak hanya berhenti dalam tataran wacana dan pemahaman, Zainuddin dalam bukunya ini hendak mengajak pembaca untuk mempraktekkan pola beragama yang dinamis dan seimbang antara kesalehan personal dan kesalehan sosial, tanpa mengorbankan salah satu di antara keduanya.

Leave a Reply

Silahkan Anda meninggalkan komentar untuk tulisan-tulisan yang ada di blog ini. Terima kasih.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Tulisan Populer

- Copyright © Inspirator Indonesia - Metrominimalist - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -